#30DayMapChallenge 2022: an Epitome [Part 1]
You will either have to live with the pain of discipline or with the pain of regret
Halo Semuanya,
Since discovering the #30DayMapChallenge event in 2020, I’ve always been excited to welcome November, which I later call ‘the holy month for map makers.’ The rules are still the same: making a map every day in November with a different theme each day, without any restrictions on software, tools, and data (as long as you don’t steal someone’s work).
Sejak menemukan event #30DayMapChallenge di tahun 2020, saya selalu excited setiap menyambut bulan November yang kemudian saya sebut sebagai ‘bulan suci bagi para pembuat peta.’ Peraturannya masih sama, yaitu membuat peta setiap hari di bulan November dengan tema yang telah ditentukan sebelumnya, tanpa ada batasan software, tools, device data (asalkan jangan mencuri buatan orang lain).
Basically, the challenge is not just making a map every day for a month. Because I’m a (pretentiously) idealistic person, as much as possible, the idea is different from last year, using some new tools and platforms. The brainstorming to find new ideas became longer, and in the end, mostly the maps were finished by almost midnight. Plus, I was made quite hectic by my main job in November, really tired, but it was fun!
Bagi saya tantangannya tidak sekadar membuat satu peta setiap hari selama sebulan, tapi karena ceritanya saya orang yang (sok) idealis, sebisa mungkin idenya berbeda dari tahun lalu, menggunakan beberapa alat maupun platform baru. Proses brainstorming untuk menemukan ide jadi lebih panjang, akhirnya mostly peta-petanya baru selesai setiap mendekati tengah malam. Ditambah saya dibuat cukup hectic oleh pekerjaan utama saya di bulan November, capek banget but it was fun!
As usual, at the end of this event, I’ll write stories I can’t tell on my maps.
Seperti biasanya juga, setelah event ini selesai saya menulis cerita yang barangkali belum atau tidak bisa tersampaikan dalam peta-peta saya.
Day 1 — Points
After the massive flood disaster in Jakarta Metropolitan (Jabodetabek) Area in early 2020, MAPID (my current workplace) collaborated with the Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR) to create a flood monitoring system using Geographic Information System (GIS).
Setelah kejadian banjir yang masif di Jabodetabek pada awal tahun 2020, tempat kerja saya (MAPID) berkolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membuat sistem monitoring banjir di Jabodetabek menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).
More than 1.000 flood locations have been successfully collected through a collaborative mapping platform since then. It’s still currently ongoing, as well as involved in the flood disaster management cycle in Jabodetabek.
Sejak saat itu lebih dari 1.000 titik lokasi banjir berhasil di petakan melalui platform pemetaan kolaboratif dan masih kontinu hingga sekarang, sekaligus membantu decision making dalam siklus manajemen bencana banjir di Jabodetabek.
I was afraid to use this data at first because actually the data is owned by PUPR. The RAW data not only show the flood heights but also include other parameters such as locations or house addresses, image documentation from the field, and also the surveyor’s phone number. However, after some consideration, it doesn’t seem to be a problem because I’m only creating the data visualization from flood heights.
Saya sempat ragu untuk menggunakan data ini, karena bisa dibilang ini adalah data internal dari PUPR. Karena RAW datanya mencakup banyak parameter seperti ketinggian banjir, bahkan sampai alamat. Disamping itu, sebenarnya ini adalah data internal dari PUPR. Namun, setelah saya pertimbangkan lagi, sepertinya ini tidak menjadi masalah karena toh saya hanya membuat visualisasi dari satu parameter saya, dan tidak pula membagikan data tersebut ke banyak orang.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Source:
1. PUPR’s Flood locations monitoring data with Form MAPID
Day 2 — Lines
In early November, many people on social media were ‘showing off’ their Gojek transaction history over the past year. Some people only have hundreds of thousands of rupiah in their transactions. Still, I’ve found that there are also tens or even hundreds of millions.
Awal November kemarin, banyak orang di media sosial yang ‘pamer’ histori transaksi Gojek mereka selama setahun ke belakang. Ada yang cuma ratusan ribu, tapi saya pernah menemukan ada juga yang sampai puluhan dan ratusan juta.
Maybe the number of transactions is subjective, everyone’s needs are different, right? However, what if we look at it differently, thinking spatially instead of being linear like yesterday’s show-off trend which in my opinion became a competition about who spends the most money.
Mungkin soal histori transaksi dari beliau-beliau dengan nominal yang membuat kita tidak habis pikir adalah hal yang subjektif, kebutuhan tiap orang pasti berbeda bukan? Namun, bagaimana jika kita coba lihat dengan cara berbeda, berpikir spasial, alih-alih linear seperti tren kemarin yang menurut saya malah jadi lomba siapa yang nominalnya paling banyak.
I collected the transaction history from my Gojek account and several colleagues from Jakarta, Bandung, Surabaya also Yogyakarta. That’s why I made the map a bit unclear to maintain our privacy. The basic insight is the route map from starting to the destination points. More than that, the other insight is the pattern created from our daily habits in Gojek’s services, whether the vehicle or payment types.
Saya mengumpulkan tidak hanya data transaksi saya pribadi, tapi juga beberapa teman dari Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta, that’s why petanya sengaja saya buat agak samar untuk menjaga privasi. Kemudian saya lakukan geocoding atas informasi-informasi lokasi yang ada dalam data tersebut. Sehingga kita bisa mendapatkan insight baru, yang fundamental sudah pasti adalah peta rute pergerakan dari titik awal ke destinasi, tapi lebih dari itu kita bisa melihat kebiasaan yang membentuk pola dalam penggunaan berbagai layanan Gojek sehari-hari.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Source:
1. Gojek’s historical transaction data
Day 3— Polygons
The favorite and non-favorite public schools dichotomy should be common knowledge in Indonesia. Public schools considered the favorites have higher quality in many aspects, like teachers, facilities and infrastructure compared to the non-favorites. Then, the government creates a school zoning system through the Regulation of the Minister of Education and Culture (Permendikbud) No.14 of 2018.
Dikotomi sekolah negeri favorit dan non-favorit mestinya sudah jadi rahasia umum di Indonesia. Sekolah negeri yang selama ini dianggap favorit memiliki kualitas guru sampai sarana dan prasarana yang timpang dibanding non-favorit. Maka, dibuatlah sistem zonasi sekolah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.14 Tahun 2018.
The system aims to accelerate education equality in Indonesia, creating the same opportunities for students from any school to have achievements. For this reason, policymakers can involve geospatial technology in this system. I use the isochrone technique to visualize the zoning area based on the radius in Jombang Regency, East Java.
Sistem zonasi sekolah bertujuan mempercepat pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia, menciptakan kesempatan yang sama bagi siswa dari sekolah manapun untuk berprestasi. Untuk itu, para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan teknologi geospasial dalam sistem ini, saya menggunakan teknik visualisasi isokron untuk membuat area radius zonasi sekolah di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Besides the map below, I also made content about how GIS technology can play an important role in the school zoning system, which you can see here.
Selain peta di bawah, saya juga membuat tulisan tentang bagaimana teknologi SIG dapat berperan penting dalam sistem zonasi sekolah, dapat dilihat di sini. Tulisan yang sebenarnya sudah lama mengendap di draft, untungnya event seperti ini bisa saya jadikan dorongan untuk menyelesaikannya.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Source:
1. Public high school POI: OpenStreetMap
Day 4— Colour Friday: Green
The role of urban green space is vital in reducing the negative impact of development because it has a fundamental function as an oxygen producer and carbon absorber. However, can the existing urban green space in Indonesia cover that need?
Peran ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dalam mengurangi dampak negatif dari pembangunan, khususnya di wilayah perkotaan karena memiliki fungsi mendasar sebagai produsen oksigen serta menyerap karbon. Namun, apakah RTH yang saat ini eksisting di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan itu?
I managed to get more than 8.000 Point of Interest (POI) for urban green space locations in Indonesia. Then I visualized them using clustering techniques into a map. The unexpected result is that Sleman Regency is in second place, while big cities like Surabaya or Medan are not even in the top five (Surabaya is in the 6th).
Saya berhasil mendapatkan lebih dari 8.000 Point of Interest (POI) titik lokasi RTH di Indonesia, kemudian saya visualisasikan menggunakan teknik clustering. Hasil yang tidak terduga adalah Kabupaten Sleman berada di peringkat dua, sedangkan kota-kota besar seperti Surabaya atau Medan tidak masuk peringkat lima besar (Surabaya peringkat enam).
The map may still look simple, but this could be an early phase to elaborate on other things. For example, identify the amount of carbon produced by locations with minimal urban green space, measure the ability of existing areas to absorb carbon and find a spot to build new urban green spaces. In the end, it can maintain or even improve the air quality in urban areas.
Petanya memang masih tampak sederhana, tapi mungkin saja ini bisa sebagai langkah awal untuk melakukan elaborasi terhadap hal lain. Misalnya identifikasi berapa banyak karbon yang dapat dihasilkan oleh lokasi-lokasi dengan angka RTH minim, mengukur kemampuan RTH eksisting dalam menyerap karbon dan mencari lokasi potensial untuk dibangun RTH baru yang bisa menjadi langkah awal untuk menjaga atau bahkan memperbaiki kualitas udara di wilayah perkotaan.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Sources :
1. https://lnkd.in/gQjynrYd
2. Urban green space locations: OpenStreetMap
Day 5 — Ukraine
As I predicted, today many choose Russia’s invasion of Ukraine as the theme. It doesn’t mean that this is not an important issue, but it could limit our sights or way of translating the Ukraine theme.
Sudah bisa ditebak, hari ini banyak yang memilih tema invasi Ukraina oleh Russia. Bukan berarti hal ini menjadi tidak penting, tapi menurut saya bisa saja itu malah membatasi perspektif atau cara menerjemahkan tema ‘Ukraina’.
Well, personally I like to make speculations, the theme I chose came from my curiosity, how many people would be affected if the Chernobyl reactor disaster event in Pripyat, Ukraine, occurred in the present days using data from WorldPop. I’m surprised by the result, even though the Soviet Union had created an exclusion zone in 1986, I discover about 13.9 thousand residents still living near Chernobyl.
Nah, karena saya suka berandai-andai, maka tema yang saya pilih berasal dari rasa penasaran saya, berapa banyak orang yang terdampak jika peristiwa Chernobyl di Kota Pripyat, Ukraina, terjadi pada masa sekarang menggunakan data dari WorldPop. Hasilnya mengejutkan, meskipun Uni Soviet telah membuat zona ekslusi pada 1986, saya masih menemukan sebanyak 13.9 ribu penduduk yang tinggal di dekat reaktor Chernobyl.
I thought there was distortion in the data, but in fact there is a community called Samosely. They had previously decided to stay in the most contaminated area within a 30km radius of the reactor and refused to evacuate until today. The majority of them are elderly. By the way, I’m inspired by the interactive map created by Outrider.org here.
Saya kira ada distorsi pada datanya, tapi ternyata ada kelompok penduduk yang disebut dengan Samosely. Mereka dulunya memutuskan untuk tetap tinggal di area yang paling terkontaminasi dengan radius 30km dari reaktor dan menolak untuk di evakuasi. Mayoritas penduduk tersebut telah berusia lanjut. Oh ya, saya terinspirasi peta interaktif yang dibuat oleh Outrider.org di sini.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Sources:
1. https://lnkd.in/gdfDbEDb
2. https://lnkd.in/g8vZdcay
3. https://lnkd.in/g6F3sHnA
4. Population density: WorldPop
Day 6 — Network
Whether we realize it or not, the objects, natural features and area naming system, especially in West Java, Jakarta also Banten, often begin with ‘Ci’. This name comes from the location characteristics, ‘Ci’ which comes from the word ‘Cai’ that means water in Sundanese. You name it, Cimahi, Cirebon, Cibinong, ̶C̶i̶w̶a̶l̶k̶ Cilegon or river names such as Ciliwung, Cisadane and Citarum.
Entah disadari atau tidak, penamaan objek, kenampakan alam dan daerah terutama di Jawa Barat, Jakarta serta Banten banyak diawali dengan ‘Ci’. Ternyata penamaan ini berasal dari keadaan atau ciri sebuah lokasi, ‘Ci’ yang berasal dari kata ‘Cai’ berarti air dalam bahasa sunda, . Kemudian ini digunakan untuk nama-nama seperti Cimahi, Cirebon, Cibinong, ̶C̶i̶w̶a̶l̶k̶ Cilegon atau nama sungai seperti Ciliwung, Cisadane dan Citarum.
Have you ever wondered how many rivers in West Java, Jakarta and Banten have ‘Ci’ in their name? From over 90.000 river network data in the three areas, I found 6.075 of them and the longest was Citarum with 323km. I’m sure we can find more numbers in the actual condition. So, are there ‘Ci’ rivers around where you live?
Pernahkah kalian membayangkan berapa banyak sungai di Jawa Barat, Jakarta dan Banten yang memiliki unsur ‘Ci’ pada namanya? Dari 90ribu data jaringan sungai di ketiga daerah tersebut, saya menemukan 6.075 di antaranya dan yang terpanjang adalah Citarum dengan 323km. Mungkin akan ditemukan lebih banyak lagi di kondisi aslinya. Jadi, apakah ada sungai ‘Ci’ di dekat kalian tinggal?
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Sources :
1. https://lnkd.in/gyYNnUpH
2. https://lnkd.in/gbHc2CYW.
3. River network at 25k scale: Ina-Geoportal
Day 7— Raster
The COVID-19 pandemic has changed our habits, especially mobility or movement using any vehicle that produces Nitrogen dioxide (NO2) gas. Therefore, I made an interactive map with Google Earth Engine Apps to identify and clarify NO2 concentrations in Jakarta Metropolitan Area in 2020, which was the early period of the pandemic.
Pandemi COVID — 19 sedikit banyak mengubah kebiasaan kita, khususnya mobilitas menggunakan kendaraan bermotor yang menghasilkan gas Nitrogen dioksida (NO2). Oleh karena itu, saya coba membuat sebuah peta interaktif dengan Google Earth Engine Apps untuk mengidentifikasi konsentrasi NO2 di Jabodetabek pada tahun 2020.
Has the pandemic really affected air quality, particularly in Jakarta Metropolitan Area? You can click on any location on the map to identify it and display the graph in the panel on the left.
Apakah pandemi benar-benar mempengaruhi kualitas udara, khususnya di wilayah Jabodetabek? Kalian bisa klik di lokasi manapun pada peta untuk mengidentifikasinya dan menampilkan grafik di panel yang ada di sebalah kiri.
Interactive map
Tool:
1. Google Earth Engine
Source :
Sentinel-5P Near Real-Time Nitrogen Dioxide (NO2): https://lnkd.in/gjpJfeEa
Day 8 — OpenStreetMap
My 4th-day map shows that Bandung is the city with the most urban green space in Indonesia, 346. This reminds me of the 10-minute walk movement in the United States. The objective is to ensure everyone can live only 10 minutes walk (about 800m) from a park or urban green space.
Peta hari ke-4 saya menunjukkan bahwa Bandung adalah kota dengan RTH terbanyak di Indonesia, 346. Ini mengingatkan saya kepada gerakan 10-minute walk di Amerika Serikat. Gerakan ini bertujuan memastikan semua orang dapat hidup hanya dengan 10 menit berjalan kaki (sekitar 800m) dari taman atau RTH.
Most of the urban green space (green color on the map) can be found in the central to the north of Bandung City. Let’s say Dago, Asia Afrika, Braga, Pasteur, Tamansari, Citarum (around Gedung Sate and Gasibu, Trunojoyo and Ciumbuleuit. These areas are often exposed on social media or television, so the people outside Bandung have a stigma that this city has a lot of green vegetation and cool temperature (like in the Dilan ̶C̶e̶p̶m̶e̶k̶ movie).
Mostly RTH (yang berwarna hijau di peta) banyak kita temukan di bagian tengah sampai utara, seperti Dago, Asia Afrika, Braga, Pasteur, Tamansari, Citarum (sekitar Gedung Sate dan Gasibu, Trunojoyo dan Ciumbuleuit. Which is area-area tersebut sering di expose oleh televisi atau media sosial, sehingga stigma orang-orang luar Bandung bahwa kota ini sejuk, dingin, banyak pepohonan rindang (seperti di film Dilan ̶C̶e̶p̶m̶e̶k̶).
In fact, Bandung also has other sides that seem to be rarely considered, for example Korea (Kopo area) in the southwest, and Cibiru and Bojongsoang in the east to the southeast of Bandung City. Adding a lot of new urban green space in grey areas on the map is the best approach to take so it will be more accessible to residents.
Padahal, fakta bahwa Bandung juga punya sudut-sudut lain agaknya masih jarang diperhatikan, contohnya Korea (Kopo area) di barat daya, serta Cibiru dan Bojongsoang di Timur hingga tenggara Kota Bandung. Menambah RTH baru di area-area berwarna abu-abu di peta adalah pendekatan yang sebaiknya dilakukan supaya akses warga terhadapnya bisa semakin mudah.
Tools:
1. Figma
2. QGIS
Sources :
1. https://lnkd.in/gtZX7gpr
2. Road Network: OpenStreetMap
Day 9 — Space
I can honestly say that today is ‘lazy content’ because I’ve felt very exhausted the past few days. Being busy with my main daily work and at the same time taking part in this challenge is really tough Proves that I’m still an ordinary human with all limitations, lack ness and powerlessness.
Sejujurnya saya bisa bilang konten hari ini adalah ‘konten malas’, karena saya merasa amat exhausted beberapa hari ke belakang. Disibukkan oleh pekerjaan utama sehari-hari sekaligus mengikuti challenge seperti ini memang berat. Ini membuktikan saya masih manusia biasa, serba kurang, serba terbatas, serba tidak berdaya.
This reminds me of one of my lecturers who said in the middle of our class. An image that made me wonder at first, for sure. Then, it turns out that there is a profound life contemplation behind it, as a quote by United States astronomer Carl Sagan in his book Pale Blue Dot (1994).
Mengingatkan kepada salah satu dosen saya yang menyisipkan ini di sela-sela materi kuliah. Gambar yang tentu membuat saya mencureng dan bertanya-tanya pada awalnya. Namun, ternyata ada renungan pemaknaan kehidupan yang mendalam di baliknya. Seperti yang disampaikan astronom asal Amerika Serikat, Carl Sagan pada bukunya, Pale Blue Dot (1994).
A reminder that no matter how clever, intelligent, or powerful, we are still and will always be tiny creatures, dust, part of His Almightiness.
Sebuah pengingat bahwa tidak peduli seberapa pintar, cerdas, berkuasa, atau digdaya, kita masih dan akan selalu menjadi makhluk kecil, debu, serpihan, bagian dari segala KeMahaan-Nya.
Tool:
1. Canva
References:
1. https://lnkd.in/gimA-e6v
2. https://lnkd.in/g7jfSsUC
3. https://lnkd.in/g7jfSsUC
Day 10— A Bad Map
I’m grateful that I still have well-managed data from my college days, including my very first map below. The map was made for an assignment, actually it was my first experience making a map at the end of 2015, so I was a newbie to GIS (always be a newbie and stay curious).
Saya bersyukur sampai sekarang masih ngopeni data-data dari masa kuliah, termasuk peta di bawah yang dulu tujuan pembuatannya adalah untuk tugas praktikum sebuah mata kuliah di akhir 2015. Ini adalah pengalaman pertama saya membuat peta, kala itu saya baru mengenal SIG, masih newbie ( akan selalu newbie dan selalu curious).
The objective was simple: georeference satellite image data, digitize my campus area, Brawijaya University and finally make a map layout. The additional task is a field survey to validate some locations with my group mates.
Tujuannya sebenarnya sederhana, georeferencing data citra yang memuat scene area kampus saya, Universitas Brawijaya. Setelah itu, saya harus melakukan digitisasi terhadap data tersebut dan outputnya adalah layout peta. Tugas tambahannya adalah ‘sok-sokan validasi lapangan’ dengan rekan satu kelompok.
For me (at that time) this was really cool map, but after many years, experience is clearly changing my thoughts. The tickmarks and labels in the map frame should be rotated. The scale bar and scale number are inconsistent, its difficult for the reader to understand. The inset map shows no specific location markers. I forgot to remove the background of the university logo, so it’s a different color from the panel, and I forgot to delete “Text” on the panel as well. If you look closely, the width of the panel on the right is different, not precise. The color setup is also ‘norak’ and the conclusion of my map is ‘gak mbois blas’.
Bagi saya peta ini sudah sangat keren saat itu, tapi setelah sekian tahun, pengalaman jelas mengubah pendapat saya. Tickmarks-nya harusnya di rotate, scale bar dan scale number tidak konsisten, sulit bagi pembaca untuk memahaminya. Insetnya juga tidak menunjukkan lokasi yang spesifik, backround dari logo universitas belum transparan, warnanya jadi berbeda dengan panel. Jika kalian perthatikan lebih dekat, lebar dari setiap panel di bagian kanan sebenarnya berbeda, tidak presisi. Warnanya juga norak, konklusinya adalah, peta saya gak mbois blas.
However, there is always room for improvement, right?
Tapi, akan selalu ada ruang untuk perbaikan bukan?
Tool:
1. Canva