Jangan Protes Pada Proses

Rangkaian kegagalan yang justru menyelamatkan.

Wahyu Ramadhan
8 min readOct 29, 2023

Halo semuanya,

Sejak beberapa tahun lalu sebetulnya saya punya komitmen untuk menepi, mengambil jarak dan memilih jalan yang sunyi. Saya sangat membatasi untuk berbagi apapun yang personal. Tapi anggap saja kali ini adalah pengecualian, mungkin juga sebuah perayaan. Rasanya tahun ini banyak yang harus disyukuri, salah satunya adalah saya resmi jadi awardee dari program beasiswa yang tiap tahun selalu jadi buah bibir, dapat respons positif atau sebaliknya. Meskipun sejujurnya saya belum terbiasa menyebut diri sendiri sebagai awardee, entah kenapa terdengar agak cringe hahaha.

Jangan mengira saya berhasil dengan one shot, karena ini adalah percobaan yang kesekian kalinya. Kalau ada yang bilang usaha tidak akan mengkhianati hasil, saya (sempat) tidak percaya. Butuh waktu panjang dan effort yang luar biasa dalam mengejar beasiswa, makanya setiap penolakan terasa seperti pukulan telak. Namun, saya mendapat pelajaran berharaga yang mengharuskan untuk mengubah pendekatan dari setiap kegagalan tersebut.

Jadi, saya akan berbagi beberapa hal penting yang bisa diperhatikan selama proses meraih beasiswa. Mungkin tidak dapat mencakup semua aspek karena ini adalah berdasarkan pengalaman pribadi saya.

Memperkuat Alasan

Ada banyak alasan kenapa seseorang memutuskan untuk melanjutkan studi, mulai dari ikut-ikutan teman, tuntutan karir (syarat kenaikan pangkat) atau profesi ke depan yang harus punya tingkat pendidikan tertentu, akademisi atau peneliti misalnya. Tidak ada alasan yang salah, tapi kalau kita hanya didorong oleh “nggak tahu ngapain lagi setelah lulus S1, jadi lanjut S2 aja deh” misalnya, maka kita cuma akan menunda keraguan.

Alasan saya melanjutkan studi sebagian besar karena tuntutan zaman. Seperti yang kita tahu, sekarang adalah era dimana sebuah tren punya cycle yang pendek dan mudah berganti. Perubahan bisa berlangsung sangat cepat, kita harus bisa beradaptasi untuk bisa survive. Bagi saya, kunci adaptasi adalah menjadi relevan. Melanjutkan studi adalah salah satu cara untuk menjaga relevansi dengan belajar dan mengembangkan kompetensi di bidang yang saya minati.

Mungkin ikut program semacam bootcamp bisa memberi kita practical skills, tapi hal tersebut tidak selalu memberikan pemahaman teoritis yang cukup bagi saya untuk menguasai konsep-konsep dasar dan menerapkannya dalam berbagai situasi. Selain itu, bootcamp juga tidak bisa menjamin kualitas dan akreditasi dari penyelenggara dan pengajarnya. Maka, saya lebih memilih studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Katakanlah profesi saya adalah manajer investasi yang melakukan analisis instrumen investasi untuk membuat strategi portofolio yang tepat. Dari situ saya (mungkin) punya data demografi klien seperti umur, pendapatan, pekerjaan dan asal daerah yang juga secara tidak langsung menunjukkan bahwa ternyata tidak semua masyarakat sadar pentingnya investasi.

Limitasinya adalah saya yang belum tahu cara untuk solve the problems. Maka, perlu studi lebih lanjut untuk membuat diri saya lebih kompeten. Sehingga dapat memberikan solusi yang tepat untuk klien dan menumbuhkan pengetahuan tentang berbagai macam produk investasi pada masyarakat. Tinggal setelah studi nanti pilihannya mau jadi akademisi atau praktisi, itu preferensi masing-masing.

Relevansi adalah Kunci

Mostly program beasiswa memberi syarat pada pelamarnya untuk membuat esai atau motivation letter sebagai dokumen inti. Surat ini memberi kita kesempatan untuk menunjukkan kelebihan dan alasan atau latar belakang permasalahan yang ingin kita selesaikan dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Bisa jadi ada hubungannya dengan rencana masa depan, intinya penyedia beasiswa harus berhasil diyakinkan bahwa kita layak menjadi awardee.

Percayalah, kita tidak akan kekurangan topik untuk motivation letter k̶a̶r̶e̶n̶a̶ ̶m̶a̶s̶i̶h̶ ̶b̶a̶n̶y̶a̶k̶ ̶m̶a̶s̶a̶l̶a̶h̶ ̶d̶i̶ ̶I̶n̶d̶o̶n̶e̶s̶i̶a̶ ̶y̶a̶n̶g̶ ̶h̶a̶r̶u̶s̶ ̶d̶i̶s̶e̶l̶e̶s̶a̶i̶k̶a̶n̶. Namun, dari sekian kegagalan yang saya alami, saya bisa beri saran, yaitu jangan memaksakan diri untuk berpikir dalam lingkup makro, seperti ingin merubah negeri ini menjadi lebih baik atau semacamnya. Alih-alih, coba cari hal yang relate dengan apa yang kita kerjakan sehari hari. Menurut saya, ini akan mempermudah kita untuk ‘improvisasi’ saat tahap interview yang pertanyaan-pertanyaannya diambil dari motivation letter.

Tahap interview sangat berisiko untuk membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaan yang tricky dari interviewer. Itu menjadi tantangan terbesar saya dalam beberapa kali percobaan, meskipun sering berlatih (mock interview) saya saja kesulitan. Saya pun baru berhasil setelah mengubah pendekatan. Jika kita sering mengerjakan sesuatu, maka hal tersebut akan melekat dalam ingatan kita dan yang pasti ini membantu saya menjadi lebih percaya diri dan siap dalam menghadapi interview.

Perjalanan dan Kesabaran

Persiapan aplikasi beasiswa bukan sekadar satu langkah instan dengan sedikit rintangan. Misalnya, kita akan merasa seperti memiliki banyak potongan informasi yang berantakan sehingga tidak tahu mulai dari mana. Belum lagi rasa ragu dan mempertanyakan kemampuan diri sendiri “saya bisa nggak ya?” Kadang ada juga perasaan menggebu, sangat percaya diri bahkan penuh ketidakpastian, seperti menyusun puzzle bukan? Sama halnya menyusun puzzle, setiap langkah meskipun terlihat kecil, tetap saja punya peran.

Perjuangan meraih beasiswa bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan ketekunan. Lambat bukan berarti tertinggal, cepat bukan berarti hebat. Nyatanya semua akan berada di garis finish di waktu yang tepat.

Hal pertama yang dulu saya lakukan adalah memahami tentang keseluruhan beasiswanya, seperti timeline beasiswa, persyaratan sampai tujuan. Ini adalah pengetahuan paling mendasar yang diperlukan untuk menentukan prioritas. Persyaratan seperti TOEFL, IELTS dan recommendation letter mungkin tidak bisa kita dapatkan dalam 1–2 minggu saja. Menurut saya paling realistis persiapan apply beasiswa setidaknya butuh waktu 6–7 bulan. Jadi pastikan kita punya waktu panjang untuk persiapan yang matang karena persiapan yang mendadak dan terburu-buru sama saja memperbesar peluang kegagalan.

Berkomunitas untuk Bertumbuh

Sangat sulit menyelesaikan perjalanan yang penuh ketidakpastian ini sendirian, kita perlu guidance dari orang yang lebih berpengalaman. Bersyukurlah karena sekarang banyak komunitas (atau mungkin juga perusahaan?) ‘pemburu’ beasiswa, entah gratis atau sudah dimonetisasi. Biasanya mereka memililki semacam program mentoring. Saya sarankan coba gabung ke yang gratis saja, karena itu sudah sangat worth it. Kecuali jika memang punya alokasi dana yang lebih.

Program mentoring lebih dari sekadar memberi kita guidance. Para mentor yang (mostly) juga awardee ini akan mendampingi kita di setiap tahapan seleksi. Bagi saya ini sangat membantu karena ada hal yang susah untuk diselesaikan sendirian, misalnya mock interview yang sebaiknya butuh ‘lawan’. Saya salut kepada mereka yang membuat program mentoring seperti itu, karena saat saya sekarang berada di posisi seperti mereka, sejujurnya itu tidak mudah. Personally, saya harus bersyukur dan berterima kasih punya seorang rekan yang sangat bisa diandalkan, terutama jadi partner mock interview sampai puluhan kali. Ya benar, puluhan kali sampai saya sendiri muak hahaha.

Ngomong-ngomong soal komunitas berbayar yang diinisiasi oleh awardee, sebetulnya saya sangat menghindari hal seperti ini. Kenapa? Masa sudah diberi kesempatan sekolah dari uang pajak malah digunakan untuk menjual kursus kepada pembayar pajak? Awardee yang menjadi (misalnya) education influencer dengan semangat kontribusi sih boleh-boleh saja, tapi kalau sampai monetisasi pengalaman ya tentu kurang etis. Jadi, sekali lagi coba cari komunitas yang gratis.

Mitigasi Risiko

Sebelumnya sempat saya mention, bahwa salah satu tantangan terbesar dalam proses aplikasi beasiswa adalah ketidakpastian. Kita tidak pernah tahu apakah kita akan lolos seleksi atau tidak dan apa yang sebenarnya menjadi kriteria penilaian dari panitia. Strategi yang sejauh ini dapat kita lakukan adalah fokus pada proses atau usaha kita, bukan pada sesuatu diluar kendali kita seperti hasil akhir.

Selain itu, kita juga harus memikirkan apa tindakan kita saat menghadapi kemungkinan terburuk. Saya akan bicara dari sudut pandang orang yang berulang kali merasakan so close, yet so far. Mentor adalah aset penting, jadi tolong dimanfaatkan (dalam konteks positif tentunya hahaha). Cobalah diskusi dan evaluasi bersama mentor setelah meratapi kegagalan di tahap interview misalnya. Siapa tahu kita akan menemukan titik terang setelah berbagi perspektif.

Sedih dan kecewa adalah hal wajar, yang terpenting adalah kita bisa embrace kegagalan tersebut, it’s just a bad day, not a bad life bukan? Justru ini adalah peluang untuk memetik pelajaran, semakin resilient, menyadari bahwa kita belum cukup pantas dan comeback stronger entah di program beasiswa lain, atau kembali berusaha menaklukkan program yang sama di periode selanjutnya.

Keras Kepala atau Konsisten?

Ada kalanya kita jadi merasa terlalu yakin dengan diri sendiri. Semua persyaratan administrasi, motivation letter yang dirasa sempurna, dan menemukan mentor yang oke. Ini yang juga pernah (atau mungkin sering?) saya rasakan yaitu terlalu percaya diri. Semua persiapan yang saya lakukan seolah pasti membuat saya lolos, tapi ternyata tidak sesuai harapan. Saya gagal.

Hanya kegagalan yang membuat saya sadar pentingnya mengelola ekspektasi, tidak jemawa dan rela menerima kritik. Saat seperti itu saya memahami perbedaan antara konsistensi dan keras kepala. Konsisten itu berarti saya tetap berusaha dengan cara yang efektif. Keras kepala itu berarti saya ngotot dengan cara yang sia-sia dan mengulangi kesalahan yang sama. Tahu bedanya kedua hal tersebut akan menjadikan kita lebih adaptif, tahu limit dan bisa mengendalikan diri di setiap usaha.

Menaklukkan Diri Sendiri

Dalam perjalanan aplikasi beasiswa, saya banyak mengikuti sharing sesion yang diadakan oleh komunitas awardee. Selain kebanjiran informasi, di sisi lain mereka membuat saya minder dengan segala pencapaian yang diraih. Bukan lagi di tingkat regional atau nasional, tapi internasional. Siapa juga yang tidak ciut punya kompetitor seperti itu. Ingat faktor ketidakpastian kan? Percaya atau tidak, saya pernah menemukan education influencer yang tidak lolos seleksi, padahal S1-nya saja di luar negeri (dengan beasiswa pula), prestasinya gokil! Semakin menegaskan bahwa tidak ada tahu kriteria seperti apa yang diinginkan oleh panitia.

Saya baru benar-benar menyadari hal ini setelah saya lolos dan bertemu langsung dengan banyak awardee lain dalam semacam kegiatan orientasi selama beberapa hari. Kami semua punya background yang berbeda, dari yang fresh graduate, full-time worker (contohnya saya) bahkan resign dari pekerjaan demi fokus penuh untuk seleksi beasiswa. Dengan kata lain masing-masing dari kami punya garis start yang berbeda juga. Jadi, membandingkan diri sendiri dengan orang lain rasanya tidaklah relevan. Sekecil apapun pencapaian dan bagaimanapun rencana yang kita tulis di motivation letter, bisa jadi itu punya value yang besar.

Jangan Protes pada Proses

Saya selalu berusaha agar berada dalam pace yang tinggi, termasuk dalam rangkaian perjuangan meraih beasiswa ini. Karena ada target yang harus dipenuhi, saya jadi terlalu serius dan seolah-olah berada di dalam pressure yang saya buat sendiri untuk waktu yang lama. Sehingga saya melupakan kebahagiaan dan keseimbangan dalam hidup. Misalnya, saya seharusnya tidak melewatkan kehidupan sosial dan personal interest yang saya miliki.

Santai saja, mungkin sederhana dan tidak signifikan, tapi sering terlupakan.

Santai saja, mungkin sederhana dan tidak signifikan, tapi sering terlupakan sekaligus yang susah dilakukan. Sekali-kali kita perlu ruang untuk rehat sejenak dan mengambil nafas. Saya rasa ini penting serta masih relate dengan menjaga ekspektasi dan menikmati perjalanan. Ini membuat emosi kita terjaga dengan baik dan akan tercermin saat kita berada dalam tahap interview. Vibes dari suasana positif yang kita pancarkan pasti akan lebih menarik bagi interviewer.

Bukannya menganggap remeh, melainkan kegagalan atau kesuksesan aplikasi beasiswa memang seharusnya jangan dianggap sebagai tujuan, tapi akibat dari apa yang kita lakukan selama prosesnya. Lagipula, itu hanya sebagian kecil dari sekian kemungkinan yang bisa terjadi dalam hidup kita kan? Jadi, don’t rush yourself, jangan protes pada proses dan selalu berikan yang terbaik. Pelan-pelan, maka dampak positif akan selalu mengikuti, semoga saja.

Catatan: Tulisan ini didasarkan pada apa yang saya alami, mungkin dapat berbeda untuk setiap individu. Selain itu tidak ada niat untuk dengan sengaja menyinggung dan meremehkan siapapun. Semoga bisa memberi insight untuk kita semua.

Connect with me on LinkedIn

--

--

Wahyu Ramadhan

Mapping my way through the GIScience universe. Join me on this journey!